Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI MUARA BULIAN
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
2/Pid.Pra/2019/PN Mbn 1.Ponidi Bin Sajab
2.Sartono Alias Tono Bin Yasmizar
KAPOLRI CQ. KAPOLDA JAMBI. CQ. KAPOLRES BATANG HARI CQ. KASATRESKRIM KEPOLISIAN RESOR BATANG HARI Minutasi
Tanggal Pendaftaran Rabu, 28 Agu. 2019
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 2/Pid.Pra/2019/PN Mbn
Tanggal Surat Rabu, 28 Agu. 2019
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1Ponidi Bin Sajab
2Sartono Alias Tono Bin Yasmizar
Termohon
NoNama
1KAPOLRI CQ. KAPOLDA JAMBI. CQ. KAPOLRES BATANG HARI CQ. KASATRESKRIM KEPOLISIAN RESOR BATANG HARI
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

 


Kepada Yth.
Ketua Pengadilan Negeri Muara Bulian
Di-
    PENGADILAN NEGERI MUARA BULIAN

 

 

Hal    :        Permohonan Praperadilan atas Nama PONIDI BIN SAJAB dan SARTONO
________________________________________

 

Dengan Hormat,
Perkenankanlah kami :

ANDI GUNAWAN, S.H.            YUSMINAR MANIHURUK, S.H.
ELIANIS, S.H.                RYAN PAHLERI, S.H.
INDA MULIAWATI, S.H.

kesemuanya adalah Advokat/Penasehat Hukum pada Kantor ANDI GUNAWAN, S.H. & REKAN Law Firm yang beralamat di Jl. HOS Cokroaminoto No. 43 B RT. 10 Kel. Selamat Kec. Telanaipura, Kota Jambi.
Dalam hal ini bertindak berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 19 Agustus 2019 (Terlampir), baik secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama mewakili Kepentingan dari PONIDI Bin SAJAB dan SARTONO, selanjutnya disebut sebagai PARA PEMOHON ———————————————————————————-

——————————–M E L A W A N——————————–

Pemerintah Republik Indonesi Cq. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Cq. Kepala Kepolisian Daerah Jambi Cq. Kepala Kepolisian Resort Batanghari Cq. Kasat Reskrim Kepolisian Resort Batanghari, beralamat di Jl. Gajah Mada Muara Bulian Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi, selanjutnya disebut sebagai TERMOHON ——————————————————————————————–
untuk mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Penetapan sebagai tersangka dalam dugaan Tindak Pidana “setiap orang di larang membakar hutan dan atau setiap orang di larang membuka lahan dengan cara membakar dan atau orang perseorangan yang dengan sengaja turut serta melakukan atau membantu terjadinya pembalakan liar dan atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf (d) Jo Pasal 78 ayat (3) UU RI Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sub Pasal 108 Jo Pasal 69 ayat (1) huruf (h) UU RI Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sub Pasal 98 ayat (1) Jo Pasal 19 huruf (b) UU RI Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan oleh Kepolisian Resort Batanghari.

Adapun yang menjadi alasan Permohonan Praperadilan Para Pemohon adalah sebagai berikut :

I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN.

a.    Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.

b.    Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)Pasal 1 angka 10 menyatakan :
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
1.    Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
2.    Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3.    Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”

c. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
1.    sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
2.    ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

d. Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara.Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan Praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (Alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.

e.    Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :
Mengadili,
Menyatakan :
1.    Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
o    [dst]
o    [dst]
o    Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
o    Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

f.    Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

II.     ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

1.    Bahwa  Pemohon Ponidi adalah seorang  Karyawan yang bekerja di PT. ASIATIK yang beralamat di Perumahan Kebun IV Afdeling II PT. BSU Desa Bungku Kecamatan Bajubang Kabupaten Batanghari sebagai Buruh Panen, sedangkan Pemohon Sartono beralamat di RT. 18 Dusun Tanjung Mandiri Desa Bungku Kecamatan Bajubang Kabupaten Batanghari yang bekerja sebagai pekerja lepas yang dibayar oleh Sdr. Ponidi untuk membersihkan lahan garapan milik Ponidi  ;

2.    Bahwa berawal pada hari Kamis malam Jum’at, tanggal 09 Agustus 2019 Ponidi sedang  berada di rumah bersama istrinya istirahat, lalu sekira Pukul 21.00 WIB datang 2 (dua) orang yang mengaku sebagai Karyawan Perusahaan PT. RIKI mau bertemu dengan Ponidi. Setelah bertemu Ponidi langsung dibawa ke Kantor Perusahaan PT. RIKI untuk dimintai keterangan tentang adanya kebakaran lahan dan malam itu juga Ponidi ikut bersama kedua orang tersebut dengan disaksikan oleh Istrinya  ;

3.    Bahwa kemudian pada hari Sabtu tanggal 10 Agustus 2919 sekira Jam 5.00 pagi Saudara Sartono didatangi orang yang tidak dikenal, karena pada saat itu orang tersebut tidak ada menunjukan tanda pengenal dan indentitas diri, lalu di bawa tanpa diberitahukan kemana.  Pada saat Saudara Sartono dibawa, karena curiga Istrinya mengikuti hingga sore sekira pukul 16.00 WIB, dan akhirnya orang yang membawa Sartono tersebut memberitahukan kepada Istrinya “agar Ibu pulang saja”, karena Sartono akan dibawa ke Polres Batanghari ;

4.    Bahwa istri Saudara Ponidi baru mengetahui kalau suaminya telah di Polres Batanghari ketika datang ke rumah Saudara Sartono pada hari sabtu tanggal 10 Agustus 2019, dimana pada saat mendatangi rumah Sdr. Sartono tersebut, Istri Ponidi tidak bertemu dengan istri Sartono dan hanya bertemu dengan  tetangga Sartono yang bersebelahan rumahnya, yang memberitahukan  kalau Sdr. Sartono dan Sdr. Ponidi sudah dibawa Ke Polres Batanghari ;

5.    Bahwa 3 (tiga) hari setelah kejadian penangkapan terhadap Sdr. Ponidi dan Sdr. Sartono, barulah diberikan “Surat Pemberitahuan Penangkapan” kepada Sdri. Sri Jum Roatun Hasanah selaku Istri dari Sdr. Ponidi, yang mana surat tersebut diberikan oleh Pihak Kepolisian Resort Batanghari pada saat Sdri. Sri Jum Roatun Hasanah datang berkunjung menjenguk Suaminya yang ditahan di Polres Batanghari bersama istri Sartono Sdri. Titin Yuliana. Adapun yang diserahkan dari Penyidik Kepolisian Resort Batanghari adalah sebagai berikut :

a.    Surat Pemberitahuan kepada Sdri SRI JUM ROATUN HASANAH selaku Istri dari Saudara PONIDI Bin SAJAB berdasarkanNomor : B/302/VIII/2019/Reskrim tertanggal 10 Agustus 2019 ;
b.    Surat Perintah Penangkapan atas nama PONIDI Bin SAJAB berdasarkan                   No. Pol. : SP Kap/76/VIII/2019/Reskrim  tertanggal 09 Agustus 2019 ;
c.    Surat Perintah Penahanan atas nama PONIDI Bin SAJAB berdasarkan                     Nomor : SP. Han/46/VIII/2019/Reskrim tertanggal 10 Agustus 2019.

II.    ANALISA YURIDIS ATAS PRAPERADILAN.

1.    Bahwa Penangkapan oleh Termohon terhadap Para Pemohon adalah sangat tidak prosedural, bertentangan dengan hukum, melanggar dan memperkosa Hak Asasi Para Pemohon. Karena fakta kejadian adalah Para Pemohon di tangkap oleh Termohon tanpa menunjukkan surat tugas, surat perintah penangkapan serta tidak memberikan tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarga ;

2.    Bahwa Penangkapanoleh Termohon terhadap ParaPemohon ternyata telah dilakukan tanpa memperlihatkan Surat Tugas pada saat itu, dan tidak memberikan Surat Perintah Penangkapan dan atau serta tembusan Surat Perintah Penangkapan tersebut tidak diberikan kepada Keluarga Para Pemohon, karena itu tindakan Termohon tersebut telah melanggar Ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (3) KUHAP sebagai berikut:

Pasal 18 ayat (1) KUHAP:

“…(1)     Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa…”

Pasal 18 ayat (3) KUHAP:

“…(3)    Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan...” ;

3.     Bahwa Penangkapan oleh Termohon terhadap Para Pemohon ternyata telah dilakukan tanpa memperlihatkan Surat Tugas dan tidak memberikan Surat Perintah Penangkapan dan atau serta tembusan Surat Perintah Penangkapan tersebut tidak diberikan kepada Keluarga Para Pemohon, karena itu tindakan Termohon tersebut juga telah melanggar Ketentuan Pasal 70 ayat (2), Pasal 72, Pasal 75 huruf a dan huruf c Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap No. 12 Tahun 2009) sebagai berikut:

Pasal 70 ayat (2) Perkap No. 12 Tahun 2009 :

“…Setiap tindakan penangkapan wajib dilengkapi Surat Perintah Tugas dan Surat Perintah Penangkapan yang sah dan dikeluarkan oleh atasan penyidik yang berwenang…”

Pasal 72 Perkap No. 12 Tahun 2009:

“…Tindakan penangkapan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut:

a.     Tersangka telah dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar;
b.    Tersangka diperkirakan akan melarikan diri;
c.    Tersangka diperkirakan akan mengulangi perbuatannya;
d.    Tersangka diperkirakan akan menghilangkan barang bukti;
e.    Tersangka diperkirakan mempersulit penyidikan…”

Pasal 75 huruf a Perkap No. 12 Tahun 2009:

            “…Dalam hal melaksanakan tindakan penangkapan, setiap petugas wajib:

a.    Memahami peraturan perundang-undangan, terutama mengenai kewenangan dan tata cara untuk melakukan penangkapan serta batasan-batasan kewenangan tersebut…”

 


Pasal 75 huruf c Perkap No. 12 Tahun 2009:

“…Dalam hal melaksanakan tindakan penangkapan, setiap petugas wajib:

c.    Menerapkan prosedur-prosedur yang harus dipatuhi untuk tindakan persiapan, pelaksanaan dan tindakan sesudah penangkapan…” ;

4.    Bahwa Penangkapan oleh Termohon terhadap Para Pemohon telah melanggar dan bertentangan dengan jiwa dan semangat KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) yang melindungi dan menjunjung tinggi Hak-Hak Asasi Manusia sebagaimana terlihat jelas dalam Konsiderans KUHAP huruf (a) dan huruf (c) sebagai berikut:

Konsiderans KUHAP huruf (a) :

“…a.      Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya…”

Konsiderans KUHAP huruf (c) :

“…c.     Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945…” ;

5.    Bahwa Penangkapan oleh Termohon terhadap Para Pemohon ditangkap oleh Termohon tanpa menunjukkan surat tugas, surat perintah penangkapan serta tidak memberikan tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarga,  karena itu tindakan Termohon tersebut telah melanggar dan memperkosa hak asasi Para Pemohonsebagaimana dilindungi dan dijamin keberadaannya dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G dan Pasal 28I ayat (1) sebagai berikut:

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945:

“…    Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum…”

Pasal 28G UUD 1945:

“…(1)     Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

(2)    Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain…”

Pasal 28I ayat (1) UUD 1945:

“…    Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun…” ;

6.    Bahwa Penangkapan oleh Termohon terhadap ParaPemohon di tangkap oleh Termohon tanpa menunjukkan surat tugas, surat perintah penangkapan serta tidak memberikan tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarga, karena itu tindakan Termohon tersebut juga telah melanggar ketentuan Pasal 3 ayat (2), Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai berikut:


Pasal 3 ayat (2) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia:

“…    Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum…”

Pasal 4 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia:

“…    Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun…”

            Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia:

“…    Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum…”

Pasal 18 ayat (1) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia:

 “…    Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan…” ;

7.    Bahwa bila dilihat dari Surat Pemberitahuan yang diberikan oleh Penyidik Polres Batanghari yaitu :
a.     Surat Pemberitahuan kepada Sdri SRI JUM ROATUN HASANAH selaku Istri dari Saudara PONIDI Bin SAJAB berdasarkanNomor : B/302/VIII/2019/Reskrim tertanggal 10 Agustus 2019 ;
b.     Surat Perintah Penangkapan atas nama PONIDI Bin SAJAB berdasarkan                   No. Pol. : SP Kap/76/VIII/2019/Reskrim  tertanggal 09 Agustus 2019 ;
c.     Surat Perintah Penahanan atas nama PONIDI Bin SAJAB berdasarkan                     Nomor : SP. Han/46/VIII/2019/Reskrim tertanggal 10 Agustus 2019 ;

Baru diberikan kepada Istri Para Pemohon pada tanggal 10 Agustus 2019 pada waktu ketika sedang membesuk suaminya di Polres Batanghari. Atas dasar fakta hukum tersebut membuktikan terhadap Surat Perintah Penangkapan pada saat dilakukan Penangkapan tidak pernah diperlihatkan kepada istri Para Pemohon. Di samping itu juga bila dilihat dari isi Surat Perintah Penangkapan secara tegas memerintahkan 5 (lima) Anggota Kepolisian membawa ke kantor Polres Batanghari untuk segera dilakukan pemeriksaan, namun pada kenyataannya pada hari Jum’at tanggal 09 Agustus 2019 Pemohon Ponidi dibawa oleh 2 (dua) orang yang tidak dikenal yang mengaku sebagai Karyawan dari Perusahaan PT. RIKI dan sedangkan Pemohon Sartono pada hari Sabtu tanggal 10 Agustus 2019 sekira pagi Pukul 05.00 WIB didatangi orang yang tidak dikenal tanpa menunjukkan Surat Perintah Penangkapan maupun Surat Tugas. Dengan demikian secara hukum terhadap Surat Perintah Penangkapan tersebut pada saat dilakukan Penangkapan belum juga ada dan juga terhadap kelima Anggota yang diperintahkan tersebut tidak pernah melakukan penangkapan ;

8.    Bahwa terhadap penetapan Para Pemohon selaku tersangka belum dapat dibuktikan, karena secara hukum untuk dapat ditetapkan sebagai Tersangka harus ada bukti permulaan yang cukup. Adapun yang menjadi dasar hukum untuk ditetapkannya seseorang menjadi tersangka didasarkan kepada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan Nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP ;

9.     Bahwa Pemohon ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 09 Agustus 2019, sedangkan Para Pemohon belum pernah dilakukan pemeriksaan pada saat itu. Adapun fakta kejadian hukum yang sebenarnya pada tanggal 09 Agustus 2019 Pemohon Ponidi masih berada di rumahnya sekitar pukul 21.00 WIB, sedangkan terhadap Pemohon Sartono pada tanggal 09 Agustus 2019 masih berada dirumahnya. Seharusnya secara hukum untuk ditetapkan seseorang sebagai tersangka harus dilakukan penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu, sebagaimana Menurut Yahya Harahap dalam bukunya menyatakan bahwa sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana. Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan ;

10.     Bahwa terhadap ditetapkannya Para Pemohon sebagai tersangka melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf (d) Jo Pasal 78 ayat (3) UU RI Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sub Pasal 108 Jo Pasal 69 ayat (1) huruf (h) UU RI Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sub Pasal 98 ayat (1) Jo Pasal 19 huruf (b) UU RI Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan, terlalu berlebihan dan dicari-cari serta tidak mempunyai dasar hukum sama sekali. Pada prinsipnya Para Pemohon adalah masyarakat biasa dan tidak mempunyai status kepemilikan atas lahan, secara hukum terhadap status kepemilikan lahan yang digarap oleh Pemohon Ponidi adalah status lahan milik perusahaan PT. RIKI. Sehingga bila dihubungkan dengan permasalahan hukum tentang adanya kejadian terbakarnya lahan tersebut adalah merupakan tanggung jawab dari Perusahaan PT. RIKI dan bukan tanggung jawab dari Para Pemohon. Karena Para Pemohon tidak pernah melakukan pembakaran. Adapun terhadap Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan belum dapat dikategorikan Para Pemohon melakukan perbuatan sebagaimana yang disangkakan, karena dalam hal Pemohon Ponidi menggarap diatas lahan milik PT. RIKI hanya sebatas selaku penggarap untuk memenuhi kebutuhan hidup untuk bercocok tanam dan bukan melakukan pengrusakan Hutan ataupun Lingkungan Hidup ;

11.     Bahwa Penetapan Para Pemohon sebagai Tersangka merupakan tindakan kesewenang-wenangan dan bertentangan dengan Asas Kepastian Hukum, karena Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innocence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan. Untuk itu kami selaku Penasehat Hukum Para Pemohon Praperadilan meminta kepada Bapak Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini dapat menerima dan mengabulkan permohonan Praperadilan a quo.

 

 

III. PETITUM

Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Para Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Muara Bulian yang memeriksa dan mengadili perkara a quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :

1.    Menyatakan diterima permohonan Para Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya ;

2.    Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Para Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan melakukan Tindak Pidana “setiap orang di larang membakar hutan dan atau setiap orang di larang membuka lahan dengan cara membakar dan atau orang perseorangan yang dengan sengaja turut serta melakukan atau membantu terjadinya pembalakan liar dan atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf (d) Jo Pasal 78 ayat (3) UU RI Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sub Pasal 108 Jo Pasal 69 ayat (1) huruf (h) UU RI Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sub Pasal 98 ayat (1) Jo Pasal 19 huruf (b) UU RI Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ;

3.    Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Para Pemohon oleh Termohon ;

4.    Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Para Pemohon ;

5.    Memulihkan hak Para Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya ;

6.    Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

Para Pemohon sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Muara Bulian yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara aquo  dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.

Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Muara Bulian yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Jambi,    Agustus 2019
Hormat kami,
Kuasa Hukum Para Pemohon

 

ANDI GUNAWAN, S.H.                YUSMINAR MANIHURUK, S.H.


ELIANIS, S.H.                    RYAN PAHLERI, S.H.


INDA MULIAWATI, S.H.

 

 

 

Pihak Dipublikasikan Ya